Kata “pembapaan”, sudah sering kita dengar diucapkan, baik di gereja maupun di komsel. Tetapi apakah kita sudah memahaminya? Dan yang lebih penting lagi, apakah kita sudah mengalaminya? Apakah fungsi dan kepentingannya dalam kehidupan manusia? Tahukah saudara, bahwa melalui pembapaan, hidup seseorang dapat diubahkan dengan luar biasa?

Suatu pagi, di kantor, saya kedatangan seorang tamu spesial, yang menceritakan kisah nyata kehidupannya yang luar biasa dan memberi makna, tentang pentingnya pembapaan. Roy Prabandaru Mahapria, yang biasa kami sapa dengan panggilan Mas Roy, mengisahkan perjalanan hidupnya yang penuh lika-liku, dan bagaimana dia dimampukan Tuhan menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya.

Suami dari Elizabeth Andiliza Dewayani dan ayah dari empat anak ini, mengisahkan bahwa hal terpenting dalam kehidupannya ialah pembapaan yang dialaminya, yang membawanya untuk semakin mengerti bagaimana menjalani kehidupan yang keras ini. Mari kita simak kisah dari beliau

 

Shalom, saya berasal dari keluarga yang belum percaya Tuhan. Papa orang Jawa keturunan Tionghoa, non Kristen, sedangkan mama orang Tionghoa. Jadi dari kecil, kami tidak dibangun dalam Kristus. Namun saya bersyukur, sejak kecil Tuhan mengirim Tante saya (adik mama), yang membangun saya dalam Kristus. Beliau sering mengajak saya ke gereja. Kami tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Saya sering ditinggal oleh orang tua saya. Papa bertugas di Palembang. Saya sempat ikut sekitar 1 atau 2 tahun. Akibatnya saya kurang mengenal papa saya. Saya lebih dekat dengan nenek dan tante.

Akhirnya ketika menginjak usia sekolah dasar, orang tua saya membeli sebuah rumah di Semarang, tapi saya sangat takut tinggal dengan papa, karena beliau orangnya sangat keras. Jadi saya tetap tinggal dengan nenek dan tante. Namun sekitar kelas 5 atau 6 SD, saya pindah dan tinggal dengan orang tua saya, tapi tante masih terus menjemput saya ke gereja.

Saya ikut beribadah dengan tante di sebuah gereja protestan di Semarang. Pada usia 13 atau 14 tahun, bulan Maret 1987, saya memutuskan untuk dibaptis selam di Gereja Sidang Jemaat Kristus, Semarang. Ini adalah keputusan saya sendiri, bukan intervensi dari orang lain. Saya percaya, ini adalah sebuah momentum yang tepat.

Namun proses untuk menguji kepercayaan saya kepada Tuhan Yesus tetap berlanjut. Sekalipun tante sering menjemput saya ke gereja, namun saya sering dihambat. Ada saja alasan yang menghambat saya ke gereja, seperti harus membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dll.  

Ketika SMP, saya sempat beribadah di Gereja Bethel Tarbenakel dengan Gembala Pdt. Timotius Subekti. Walaupun sudah dibaptis selam dan aktif ke gereja, tapi karena kekristenan saya belum bertumbuh, saya menjadi orang kristen biasa-biasa saja. Malahan saya sering terlibat perkelahian remaja. Bahkan, ketika SMP, karena hanya Kristen KTP, saya sempat terserongkan sekali. Sempat mengikuti ajaran dan kegiatan kepercayaa lain, karena banyak teman-teman yang mengajak. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa minggu saja. Karena hanya ikut-ikutan saja, akhirnya saya kembali lagi ke gereja.

Pada tahun 1992, ketika SMA, saya pindah ke Gereja Isa Almasih dan diterima sebagai taruna di Akademi Pelayaran yang ada di Semarang dan tinggal di asrama sekolah. Kehidupan asrama yang semi militer membentuk jiwa keras dalam diri saya. Walaupun demikian saya mulai terlibat pelayanan di gereja. Saya mulai memiliki banyak teman seiman dalam Tuhan. Saya memiliki seorang sahabat yang sering membangun saya dalam Tuhan. Dia orang Surabaya. Saya sangat dikuatkan olehnya.

Setelah lulus kuliah. Saya berlayar ke Jepang dan  bekerja disebuah perusahaan asing disana. Saya cukup lama tinggal di berbagai negara karena mengikuti pelayaran kapal saya. Namun saya sering juga pulang ke Indonesia.

Tahun 1997/98, saya ikut beribadah di gereja JKI, pimpinan Pdt. Petrus Agung di Semarang, dibawa oleh seorang kawan. Di gereja inilah saya mulai belajar banyak hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, seperti persepuluhan. Saya belajar melakukan persepuluhan, mulai dari hal-hal yang sederhana. Sebelumnya pada tahun 1996, saya kembali ke Indonesia dan bekerja disebuah perusahaan Jakarta. Saya hanya digaji Rp. 300.000 saja saat itu. Sejak itu, saya sering memberikan persembahan Rp. 30.000 setiap bulannya ke gereja, tetapi saya belum mengerti bahwa yang saya lakukan adalah persepuluhan. Jadi saya sudah mengembalikan persepuluhan, sebelum saya mengerti akan persepuluhan itu.

Tuhan memang sering mendidik saya dengan hal-hal yang sangat sederhana seperti apa yang saya alami di atas. Sejak 1996 saya terus berkomitmen melakukan perpuluhan walaupun belum mengerti. Ketika mengikuti Ibadah di JKI, baru saya diajar dan mengerti soal persepuluhan, yang sebenarnya sudah saya lakukan sebelumnya.

Saya mengalami sebuah proses yang ekstrim ketika saya mau menikah. Saya memiliki calon istri, yang sekarang sudah menjadi istri saya, Liza, yang memiliki latar belakang kepercayaan yang lain dengan saya. Saya didesak oleh keluarga saya (papa), walaupun dari pihak keluarga Liza tidak mempersoalkannya, yaitu bahwa saya harus menikah dengan Liza dan mengikuti agama dan kepercayaannya.

Sampai pada suatu titik, dimana saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ketika pulang kerja, saya dan Liza menumpang bis yang sama dari daerah Thamrin (Jakarta) ke Depok. Dia bilang, “Udah, kita menikah dengan cara agama saya saja, tapi nanti kita jalani kehidupan kita secara Kristen.” Disitu, saya menangis. Saya bilang, “Saya tidak akan menyangkal Tuhan saya.“ Liza pun terdiam. Ternyata perkataan saya ini juga mengubahkan dia. Akhirnya kami mengikuti pranikah disebuah gereja selama beberapa bulan dan menikah secara Kristen di Semarang pada tahun 2000.

Proses yang saya dan Liza jalani sungguh luar biasa. Setelah kami menikah, tepatnya setahun setelah kami menikah, Liza melahirkan dan kami menghadapi sebuah pergumulan saat itu. Pergumulannya ialah saya sempat jatuh dalam suatu dosa, namun akhirnya saya ditegur Tuhan dan bertobat. Namun anak saya yang baru saja dilahirkan, hanya sempat hidup selama 7 bulan dan akhirnya meninggal.

Proses ini yang saya alami, sampai saya menyerah kepada Tuhan, dimana saya merasa “dipepet”. Tahun 2001, saya tinggal di Jakarta dan menempuh pendidikan pilot kapal laut, sedangkan istri tetap tinggal di Semarang. Saya terus bolak-balik Jakarta-Semarang-Jakarta. Saat itu, anak saya masih hidup dan terus-menerus sakit. Sekitar 3 sampai 4 bulan, anak saya harus dirawat di rumah sakit. Anak saya terkena virus Cytomegalo yang menyerang otak. Anak itu sering panas suhu badannya dan tiba-tiba kejang.

Suatu malam, saya sedang di Jakarta, istri saya menelepon memberitahukan kalau anak saya sudah meninggal di PICU. Saat itu juga saya sangat terpukul. Peristiwa inilah yang mengubah hidup saya. Saya langsung pulang dengan pesawat paling pagi keesokan harinya. Ketika tiba, saya melihat anak itu sudah terbujur kaku.

Saya menangis dan merasa kepahitan dengan papa saya. Dalam keadaan seperti ini, papa sempat bilang bahwa jika jenazah anak itu dikebumikan dengan secara Kristen, dia tidak akan urus. Saya berpikir, dalam keadaan seperti itu papa masih keras dan tidak memberikan jalan keluar apapun.

Namun sejak saat itu, saya baru memahami yang namanya keluarga dalam Tuhan. Jika dulu saya tidak mengalami hal ini, saya tidak akan pernah memahami tentang keluarga dalam Tuhan. Sebuah kesalahan yang saya lakukan, ketika anak itu masih hidup, saya tidak sempat menyerahkan anak itu kepada Tuhan (penyerahan anak). Saya baru mengerti tentang penyerahan anak, ketika saya sudah pindah ke Pontianak. Waktu itu, saya memang belum memahami tentang penyerahan anak. Padahal ketika itu, gereja dimana saya beribadah sedang mengadakan penyerahan anak dan gembala saya ketika itu, sudah menanyakan tentang anak saya. Saya cuma bilang kalau anak itu tidak jadi saya bawa ke Jakarta.

Akhirnya anak itu dikebumikan bukan secara Kristen dan sayalah yang menggendong jenazahnya sampai ke liang lahat. Hati saya tidak terima akan hal ini dan saya merasa sangat kehilangan sekali. Saat itu, saya merasa berada di titik nol, tanpa bisa berbuat apapun.

Setelah kejadian ini, saya sempat trauma. Saya katakan, “Cukup, saya tidak mau memiliki anak lagi.” Dalam kondisi seperti ini, saya sangat “berantakan”. Saya kehilangan anak dan juga figur seorang bapak. Saya tahu, papa sebenarnya sayang sama saya, dan dia melakukan apa yang menurutnya baik bagi saya, walau pun caranya mungkin kurang pas bagi saya. Setelah kejadian ini, akhirnya kami pindah ke Pontianak.

Kami pindah ke Pontianak karena mutasi pekerjaan dari perusahaan. Saya bilang ke gembala jemaat dimana saya bernaung selama ini, bahwa saya dipindahkan ke Pontianak. Akhirnya saya didoakan beliau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan November 2002.

Ketika berada dalam pesawat, saya berdoa, “Tuhan, tunjukkanlah kepada hamba, dimana saya harus berjemaat (bergereja).” Ketika itu hari Sabtu. Setelah mendarat, dalam taxi saya bertanya kepada sopir taxi,” Pak, dimana ada gereja di Pontianak, karena besok (Minggu), saya mau ibadah.” “Mau ibadah di gereja yang bagaimana?” Tanya si sopir. Saya menjawab, “Yang kharismatik pak.” Lucunya, sang sopir langsung mengantar kami melewati Gedung Graha Air Kehidupan di Jl. H.Abbas (dulu masih digunakan sebagai tempat ibadah Psalm 21, sekarang menjadi kantor gereja) dan menunjukkan kami bahwa besok bisa beribadah disini. Kami pun meneruskan perjalanan ke hotel di Jl.  Merdeka.

Keesokan harinya, dengan menumpang becak, saya bermaksud menuju jl. H. Abbas. Saya tiba pk. 09.00. Ternyata itu terlalu awal, karena ibadah dimulai jam 10.00. Saya disambut oleh Alm. Bp. Pontas Siahaan, yang saya pikir adalah gembalanya. Akhirnya saya baru tahu bahwa gembala yang sebenarnya adalah Pdt. Markus Tonny Hidayat, setelah dikenalkan dengan beliau.

Setelah berjemaat dengan gereja ini, saya mulai dibangun dan diubahkan. Saya mengalami pemulihan dengan orang tua saya (papa dan mama). Hubungan kami mulai dan semakin membaik. Saya terus dibangun dalam Kristus.

Ditahun 2003, satu titik dimana saya mengalami sesuatu yang sangat membangun dan menyembuhkan batin saya. Suatu kali, saya sedang minum kopi dengan Babe (sapaan akrab jemaat terhadap Pdt. Markus Tonny Hidayat), tiba-tiba pembicaraan kami menyinggung soal anak (keturunan). Saya bilang bahwa saya tidak mau punya anak lagi. Cukup anak kami Imel dan Adhis yang bersama kami. Lalu saya menceritakan secara jujur dan terbuka, semuanya yang telah saya sampaikan sebelumnya. Babe menyampaikan suatu hal yang sangat membangun saya dan sangat saya ingat sampai saat ini.

Beliau menyampaikan sebuah kisah di Alkitab, dimana para murid melarang Yesus yang hendak pergi ke Yudea, karena mereka pernah ditolak penduduk Yudea, ketika dulu berada disana (Yohanes 11:7-10). Yesus tetap berangkat ke Yudea dan siap menghadapi segala resiko yang akan terjadi. Beliau menambahan penjelasannya, bahwa Yesus pernah berkata dalam sehari ada 12 jam yang terang (matahari bersinar). Jika kita berjalan dalam terang, maka kita tidak akan terantuk batu.

Saya memikirkan perkataan beliau ini, lalu saya bertanya, “Apa maksudnya Be?” Beliau menjawab, “Jika kamu hidup dalam terang, ‘batu’ itu tetap ada menghalangi jalan hidupmu, tapi karena terang, kamu akan melihat ‘batu’ itu dan bisa meloncatinya sehingga tidak terantuk. Masalah pasti ada, jadi kamu tidak perlu takut. Asalkan kamu hidup dalam terang Tuhan, semua akan terlihat jelas dan bisa diatasi.

Pernyataan Babe ini mengubah cara berpikir dan pandangan saya, seketika itu juga. Saya berani untuk memiliki anak lagi. Tidak lama kemudian, istri saya hamil lagi di Pontianak, dan lahirlah Yobel. Ketika dilahirkan, masih ada sedikit perasaan takut, tetapi akhirnya dia dilahirkan dengan selamat dan sehat, sehingga saya memberi nama Yobel kepada anak itu, yang berarti Tahun Pembebasan.

Sekitar 20 bulan kemudian, Tuhan memberikan seorang anak lagi, seorang putri yang kami berikan nama panggilan Memey. Akhirnya kami berikan nama resmi kepada putri kami ini, Jemima, yang terambil dari nama putri Ayub dalam Alkitab, yang lahir setelah Ayub mengalami pemulihan yang dahsyat oleh Tuhan. Yang luar biasa adalah ketika menerima sakramen penyerahan anak, didoakan Babe, anak ini (Yemima) tersenyum manis.

Selain Babe, saya juga di follow up oleh beberapa kawan seperti Bp. Jefta Agustinus, dan Alm Pdm. Dr. T.J. Rombe sebagai PKS saya ketika itu. Ketika pertama kali bergabung ke komsel, awalnya saya merasa jenuh karena komsel itu, semuanya orang yang sudah lansia. Saya dimasukkan ke komsel ini karena letaknya yang terdekat dengan rumah kontrakan saya waktu itu, di jl. Pala. Tetapi saya tetap setia di komsel tersebut.

Rumah kontrakan saya juga sering terendam banjir, jika air pasang, Saya pernah merasa, hidup ini kok jadi sulit ya, sejak pindah dari Jakarta. Akhirya kami pindah kontrak ke rumah lain lagi, yang juga masih dekat dengan rumah Alm Pak. Rombe (Tempat komsel).

Ketika di Psalm 21, Pelayanan pertama yang kami alami adalah sebagai usher di Ibadah Raya. Sampai diangkat menjadi pelayan Perjamuan Kudus. Ketika mau melakukan pelayanan Perjamuan Kudus untuk pertama kalinya, saya belum punya jas seragam. Istri saya sempat bermaksud membelikan sebuah jas bekas, di tempat lelong, di pasar Dahlia. Akhirnya tidak jadi beli, karena saya dipinjami sebuah jas dari teman tempat saya bekerja. Saya sempat bepikir, “Kenapa kehidupan ekonomi jadi sulit begini? Jas saja belum mampu beli baru.” Tapi itulah proses yang Tuhan ijinkan.

Saya dan istri terus diproses dan diajar Tuhan dalam hal keuangan.  Pelajaran berharga dan luar biasa. Kami berserah pada-Nya dan Tuhan yang memberikan berkat-Nya. Akhirnya kami mendapatkan berkat dan bisa membuat sebuah jas untuk pelayanan perjamuan kudus.

  1. Nasihat yang membangun

Seiring dengan berjalannya waktu, gereja Psalm 21 mengalami pertumbuhan pesat yang signifikan. Suatu hari, saya sedang ngopi dengan seorang sahabat, Bp. Sukardi. Kami membicarakan tentang siapa kita sebenarnya, kok bisa duduk dan ngobrol dengan Gembala yang diurapi Tuhan, dan berbagai mimpi kami yang digenapi satu-persatu. Bagi saya, apa yang dikatakan sahabat-sahabat, saya ingat dan dijadikan sebagai sebuah nasihat yang membangun saya.

  1. Saya juga belajar tentang kerendahan hati dari PKS saya alm. Bp. dr. Rombe

Saya baru mengerti mengapa bisa begitu melekatnya dengan beliau. Ketika istri saya mau melahirkan Yobel, dr. Rombe juga yang memberikan semangat dan kekuatan. Istri sudah merawa tidak mampu lagi dan mau diceasar saja, tapi dr. Rombe yang mendoakan dan menguatkan. Beliau bilang jangan diceasar, bisa lahir normal. Dan akhirnya memang Yobel dilahirkan dengan normal. Demikian juga yang beliau lakukan ketika istri mau melahirkan Memey.

  1. Mentoring

Saya juga diperlengkapi tentang menjadi mentor. Tuhan sendiri yang membuka jalan dan mengajarkan saya tentang pementoran. Melalui hal ini, saya terus dimentoring gembala dan saya juga mementori anak-anak muda. Tahun 2006, karena semakin berkembangnya ibadah yang saya pimpin, yaitu ibadah Sore, sampai tidak muat lagi, akhirnya ibadah sempat dipindahkan ke gedung Pelni, sementara menunggu gedung Graha Mazmur 21 selesai dibangun.

Dalam pelayanan, saya juga mengalami peningkatan dan terus dipromosikan. Dari melayani sebagai usher dan konselor, sampai menjadi koordinator Ibadah Sore (Ibadah Spektakuler). Sekarang saya menjabat sebagai gembala ibadah Spektakuler.

Proses Pemahaman Pembapaan

Proses Tuhan untuk semakin mendewasakan kerohanian kami belum berhenti. Pada tahun 2007, saya kembali mengalami saat yang berat bagi saya. Saya kembali dimutasi oleh perusahaan dimana saya bekerja. Saya harus meninggalkan keluarga rohani yang selama ini sangat mengayomi saya. Saya merasa sangat kehilangan Gembala (Babe) yang mendukung saya.

Waktu itu, saya belum mengerti tentang “pembapaan”. Saya berpikir seperti apa yang saya alami dulu, jika saya pergi, berarti saya terlepas dari penggembalan di Psalm 21 dan bergabung dengan gereja setempat untuk mulai baru lagi. Dulu saya memiliki konsep seperti ini. Akhirnya, saya baru mengerti tentang pembapaan. Jadi walaupun saya harus pindah jauh, tetapi jika saya berkomitmen dengan sebuah gereja dan mengakui gembalanya sebagai bapa rohani saya, meskipun jauh, saya bisa tetap diayomi. Jadi tidak perlu pindah gereja, sekalipun saya harus ikut ibadah disebuah gereja lokal dimana saya berada.

Dengan memahami pembapaan ini, saya berangkat ke Palembang. Di Palembang saya juga mengalami banyak proses dari Tuhan. Saya berada di Palembang selama 2 tahun. Berbagai macam masalah pun saya hadapi. Mulai dari masalah keluarga, sampai masalah pekerjaan. Yang menjadi masalah adalah hubungan saya dengan gembala gereja setempat, tidak sedekat hubungan saya dengan Babe. Padahal bapak gembala gereja setempat adalah seorang hamba Tuhan yang baik. Selama 2 tahun di Palembang, saya hanya sempat satu kali bertandang ke rumah beliau, yaitu pada waktu saya menghadapi problem. Beliau mendoakan dan menolong kami dan kami mengalami kesembuhan.

Pada tahun 2009, entah kenapa siang itu saya ingin menelepon Babe. Dalam hubungan telepon, saya bilang kalau saya ingin ke Pontianak. Dengan yakin, Babe mengatakan suatu perkataan yang mengejutkan saya. Beliau berkata, “Ya, kamu pasti ke Pontanak.” Babe melanjutkan, “Katanya kamu mau liburan disini.” Jawab saya, “Gak usah pake liburanlah, Be, langsung saja pindah.” Babe menjawab, “OK, kita berdoa ya.” Lalu Babe mendoakan saya melalui hubungan telepon itu. Setelah berdoa, Babe berkata, “Kamu pasti pindah ke Pontianak.” Saya menjawab dengan rasa agak kurang yakin di hati, “Amin.”

Hari minggunya, kami melayani di gereja setempat. Sebelum pelayanan, para pengerja yang melayani berdoa bersama sebelum pelayanan. Ketika penyembahan, pemimpin doa kami terkejut karena melihat sebuah penglihatan. Ia melihat ada suatu sinar turun ke atas kepala saya.

Ketika selesai berdoa, pemimpin doa langsung menunjuk saya dan berkata, “Pak Roy, jangan takut berharap!’ Saya terkejut, karena statement yang diucapkan sangat tepat dengan kondisi saya saat itu, saya takut berharap untuk bisa pulang lagi ke Pontianak.

Ketika hendak melayani, saya berkata dengan seorang kawan sepelayanan, “Ko, boleh gak kita menguji Tuhan?” “Maksudmu?” Dia balik bertanya. Saya tidak meneruskan pembicaraan ini, tetapi dalam hati saya langsung ada sebuah statement, “Jika Tuhan mengijinkan saya pindah ke pontianak, saya minta tanda. Dan tandanya ialah Senior Manager dari Jakarta akan menelepon saya dan menanyakan kemana saya mau pindah.” Demikianlah statement yang saya buat dalam hati.

Pada hari Senin berikutnya, ketika saya sedang nonton TV dengan istri di kamar, sekitar pukul 22.00, tiba-tiba telepon berdering. Senior Manager dari Jakarta menelepon saya dan bertanya, “Roy, angkatan kamu kayaknya mau pindah ya?” Saya katakan, “Ya pak, sebenarnya sekarang sudah waktunya.” Lalu beliau menanyakan sesuatu, persis seperti statement yang pernah saya ucapkan dalam hati. “Kamu mau pindah ke mana?” Saya gemetar dan langsung saya menjawab, “Pontianak, pak!” “Lho yang benar? Kamu gak ingin pindah ke Cirebon? Teman-teman kamu ingin pindah ke Cirebon semua.” Saya tetap berkata, “Saya ingin pindah ke Pontianak.”

Beberapa waktu kemudian, gantian saya yang diuji oleh Tuhan. Pada tahun 2009, perusahaan tempat saya bekerja mengalami masa transisi. Semua pegawai “diputar”, sampai mutasi yang seharusnya sudah dilakukanan, menjadi tertunda. Seharusnya sudah dilakukan pada bulan Juni, tapi tertunda sampai Oktober. Disinilah ketahanan dan kesabaran saya diuji Tuhan. Akhirnya, waktu Tuhanlah yang terbaik, Oktober 2009, saya dan keluarga pindah ke Pontianak. Saya sangat senang. Dalam waktu tiga bulan saja, saya dipromosikan menjadi supervisor di kantor tempat saya bekerja di Pontianak.

Dalam waktu beberapa bulan di Pontianak, saya kembali diuji lagi. Ketika kembali ke Pontianak, kita sudah menggunakan Gedung Graha Mazmur 21 dan sudah banyak orang-orang “baru” yang juga ikut melayani. Karena banyak orang baru yang tidak saya kenal, ada perasaan seperti saya dicuekin, seperti merasa asing lagi. Sepertinya Babe juga terkesan seperti “biasa” saja terhadap saya. Bahkan sampai satu titik, istri saya pernah mengajak untuk pindah gereja lain saja. Saya sempat marah atas ajakan itu, sekalipun saya tidak menyalahkan istri.

Pada waktu itu, kita sedang mengadakan KKR Morris Cerrulo di GOR dan saya ikut hadir di KKR. Saya merasa seperti orang yang tidak dianggap lagi atau “terbuang”. Akhirnya saya mendapat jawaban atas situasi seperti ini dari Babe.

Suatu hari, beliau yang memiliki empat orang anak, berkata bahwa dia menyayangi semua anaknya, karena mereka mau mendekat padanya. Statement ini menggugah hati saya. Selama ini, saya tidak pernah mendekat dengan Babe, Gereja dan semua pekerja lainnya. Saya terpancing untuk merasa diacuhkan, dicuekin, padahal tidak demikian. Ini adalah musuh banyak orang. Ini adalah asumsi yang negatif.

Melayani Kembali

Suatu sore, Babe menghampiri dan menepuk pundak saya. Sambil melakukannya, beliau berkata, “Lu ngapain cuma datang kesini untuk jadi jemaat saja? Melayani lagi dong.” Ternyata Bp. Dedhi, koordinator Ibadah sore saat itu, karena kesibukan pekerjaannya sebagai Polisi, sudah jarang ikut melayani juga.

Akhirnya tahun 2010, saya kembali diminta untuk menjadi koordinator ibadah Spektakuler (sore). Saya sebenarnya merasa kurang enak terhadap pak Dedhi. Saya sudah anggap dia seperti adik saya sendiri, Tetapi ketika kami makan bersama, pak Dedhi justru berkata pada saya bahwa jangan pernah menolak “jubah” yang sudah diberikan kepada saya. Akhirnya saya resmi menjabat sebagai koordinator.

Akhir tahun 2012, saya mendapatkan ujian dalam hal finance lagi. Dalam pekerjaan saya sebagai pilot kapal laut (pandu), banyak job yang bisa mendatangkan uang. Tetapi banyak dari job itu yang saya cut (tidak saya terima), karena saya fokus pada kegiatan managemen saya. Akibatnya finance yang saya dapatan, mulai terganggu.

Istri saya sempat bertanya, “Apakah ditahun 2013, kita akan terpuruk seperti ini lagi?” Sampai ketika kami mau membayar persembahan sulung diawal tahun 2013, sudah tidak punya uang lagi. Diakhir tahun 2012 saja, kondisi finance kami sedang “morat-marit”.

Diawal tahun 2013, istri berdoa, “Tuhan, apa yang harus saya persembahkan sebagai persembahan sulung? Kalau uang, semua yang ada di tangan suami (Roy), sudah diberikan.” Tuhan mengingatkan istri saya bahwa ada satu barang yang harus saya persembahkan, dimana barang itu sudah saya miliki ketika masih muda dulu, yaitu sebuah cincin yang saya beli dengan gaji pertama saya. Istri berusaha mencari lagi cincin yang sudah lama itu. Ketika menemukannya, dengan hati yang gemetar, kami mempersembahkan cincin itu sebagai persembahan sulung.

Tuhan tidak pernah melihat besar-kecilnya persembahan kita, tetapi perkenanan-Nya itu. Seperti persembahan Kain dan Habel. Mangapa Tuhan menerima persembaan Habel? Karena Tuhan berkenan pada Habel. Saya heran, bahwa apa yang saya lakukan itu merupakan sebuah batu loncatan. Itu menandakan bahwa persembahan yang saya berikan, berkenan pada Tuhan.

Tahun 2012, saya ditahbiskan menjadi Pendeta Muda (Pdm) di Sosok. Lalu Tahun 2013, kembali suatu proses terjadi lagi. Saya menerima SK bahwa saya harus dimutasi menjadi Manager di Babel (Bangka Belitung). Saya sempat bingung dan berdoa, “Tuhan, mengapa harus begini?”Saya konseling dengan Babe dan saya bilang, “Be, saya gak bisa lepas dari Psalm 21. Saya sudah merasa Babe adalah bapa saya. Saya sudah menjadi bagian dari Psalm 21.” Kemudian Babe bilang seperti ini, “Roy, kamu lupa tentang pembapaan? Kamu tidak terlepas dari Psalm 21 dan saya.” Baru kemudian saya sadar dan diingatkan lagi soal pembapaan. Babe melanjutkan, “Dimanapun kami berada, dimanapun kamu ditempatkan, jika kamu sudah komitmen dan mengakui kalau saya adalah bapamu, itu terikat selamanya.”

Jadi, ketika saya pindah ke Belitung, saya tidak dilepas begitu saja, tetapi diutus. Saya taat melakukannya. Sebagai tanda bahwa saya berkomitmen di Psalm 21, Pontianak, saya membeli sebuah rumah di Pontianak sebagai tanda bahwa saya berkomitmen dan mau menetap. Saya mendapatkan sebuah rumah yang dekat dengan rumah gembala.

Saya ditempatkan di Belitung, dengan kondisi pelabuhan yang masih banyak perlu perbaikan dalam segala bidang. Ketika saya didoakan pengurapan dalam ibadah awal tahun 2013, Babe melihat sebuah penglihatan untuk saya. Dimana Beliau melihat ada sebuah payung hijau yang menudungi saya dan ada banyak jaring laba-laba, serta lelehan madu. Lalu ada seekor kepiting yang akan mencapit saya, namun capitannya tidak kuat. Kemudian ada banyak sekali kotak-kotak dalam sebuah tempat.

Ternyata Tuhan menolong saya untuk membangun sebuah pelabuhan peti kemas disana. Itulah yang dilhat babe seperti banyak kotak-kotak. Saya juga mengalami banyak sekali godaan dan tekanan dari segala arah, namun tetap ada perlindungan Tuhan. Itu diartikan seperti jaring laba-laba dan kepiting yang mencapit saya, dengan capitan yang tidak kuat, karena ada pembelaan Tuhan. Lalu sebulan yang lalu, pelabuhan dimana saya bekerja, dinyatakan memiliki rapor hijau (bagus) oleh perusahaan. Mungkin inilah yang dimaksud Babe sebagai payung hijau.

Saya sangat merasakan faedah dari pembapaan itu. Dari Belitung, saya pulang ke Pontianak setiap bulan 2 kali. Saya anggap ini merupakan tindakan iman saya. Seperti orang Yahudi yang selalu kembali ke Yerusalem, maka saya juga harus kembali ke papa rohani saya, yaitu Babe, setiap bulannya. Banyak orang mengatakan bahwa saya bodoh, buat apa pulang sesering ini? Bahkan ada orang yang bilang kalau saya konyol, beli rumah di Pontianak, bagus beli di Belitung, untuk ke Pontianak saja harus menggunakan pesawat 2 kali, habis biaya di ongkos saja.

Tapi buat saya, ya memang berat sih. Tapi saya yakin, dengan saya melakukan kebenaran ini, pasti ada pembelaan dari Tuhan. Saya dicukupkan Tuhan. Tuhan membuktikannya dengan berangkat ke Israel di bulan Maret, pembekalan ke Singapura dan mengikuti sebuah pendidikan di Eropa. Bahkan diakhir 2013, saya kembali ke Israel lagi. Jadi dalam setahun, saya dan istri bisa 2 kali ke Israel dan menyambut tahun baru 2014 di Yerusalem. Suatu kali pada waktu kami minum kopi bareng dengan Babe di Gereja Calicatu, Yerusalem, beliau memberikan suatu perumpamaan tentang covenant. “Roy, apabila ibu jari dan telunjukmu diikat bersamaan dengan perban, kemudian setelah 3 hari kamu buka, apakah masih melekat ibu jari dan jari telunjukmu?” Tanya Babe. Saya menjawab, ”Jelas bisa dong, Be.” Tanya beliau sekali lagi,” Apabila keduanya dilukai dan kemudian dibalut dengan perban?” Saya menjawab,” Jelas sangat sulit lepasnya dong, Be.” Kemudian beliau memberi penjelasan, bahwa covenant diperlukan korban/bayar harga atas bukti dari ikatan itu. Wow, buat saya, itu sangat luar biasa!  

Membangun Pelayanan Tim Shofar

Tahun 2012, kami pertama kali pergi ke Tanah Perjanjian, Israel. Satu hal yang menarik, ketika saya berada di Israel, saya sempat sharing dengan Babe tentang shofar (sangkakala). Babe hanya kasih saya sebuah CD tentang penggunaan shofar itu. Akhirnya saya membeli shofar dan sekarang kita mempunyai tim peniup shofar (sangkakala) di gereja.

Selain tentang shofar, kami juga sharing tentang pembapaan, mentoring dan covenant (komitmen). Tiga hal ini saya rasakan begitu penting dalam kehidupan kita. Ketiganya itulah yang menjadikan kita kuat dan saya sendiri pun sudah mengalaminya. Maret 2013, saya berangkat lagi ke Israel untuk kedua kalinya dan kemudian pada bulan Desember 2013 untuk ketiga kalinya.

Dimutasi lagi ke Cirebon?

Tidak lama kemudian, perusahaan tempat saya bekerja meminta saya untuk mutasi ke Cirebon. Sebelum mutasi, saya merasakan masih ada satu sisi dalam diri saya yang tidak benar dihadapan Tuhan. Diawal tahun 2014, ketika Babe mendoakan saya, dia memegang tangan saya dan berkata, “Waduh Roy, mengapa hatimu serong.” Saya langsung menangis dan memohon pengampunan Tuhan. Babe melanjutkan, “Asalkan kamu mau berbalik kepada Tuhan, semua yang gelap akan berlalu.”

Ketika itu, saya didoakan pengutusan ke Cirobon. Dalam sebuah penglihatan, Babe melihat ada segumpalan awan gelap, yang lambat laun hilang, dikalahkan oleh sinar matahari yang semakin terang. Beliau melanjutkan perkataannya, bahwa akan ada masa percepatan dalam segala hal. Segala janji-Nya akan cepat dipenuhi. Dengan sepenuh iman, Saya jawab, “Amin!”

Ketika berangkat ke Cirebon, halangannya banyak sekali. Entah pesawatnya delay, lalu setibanya di Kota Cirebon, saya harus melanjutkan perjalanan dengan kereta api dan saya terlambat, sehingga harus menunggu jadwal keberangkatan kereta sore. Kemudian, saya hampir tidak dapat tempat tinggal, keuangan juga sempat morat-marit, jadi banyak sekali problem yang saya hadapi. Saya sering menangis di kamar.

Belum lagi apa yang harus saya atasi dalam pekerjaan saya itu sangat ruwet, dimana-mana terjadi masalah, penyimpangan keuangan, berhadapan dengan ancaman-ancaman di pelabuhan, dll. Tetapi saya percaya bahwa di dalam Tuhan, saya dapat mengatasi hal-hal ini dan ini membuat banyak orang yang tidak suka dengan saya. Namun saya percaya, semua akan beres, karena ini juga yang saya lakukan di Belitung.

Saya bersyukur, semua beres dan dapat diatasi. Ketika mereka melihat adanya kebenaran yang bersinar dalam hidup saya, orang-orang yang tadinya kurang suka dengan saya, malah diubahkan Tuhan dan efeknya sangat luar biasa dalam pekerjaan.

Saya bilang ke Babe, “Be, ijinkan saya kembali ke Pontianak dong.” Babe berkata, “Kamu mau pulang ke Pontianak, kamu akan menjadi General Manager (Kepala Cabang) disini.” Hati saya gemetar mendengar jawaban Babe ini dan saya jawab, “Amin.”

Ketika saya harus mengikuti KPG (Kingdom Priesthood Gathering) di gereja, berarti saya harus sering bolak-balik Cirebon ke Pontianak dan terkadang itu bisa berlangsung setiap dua minggu sekali. Tetapi untuk memudahkan saya, Babe mengatakan kalau saya berhalangan ikut, tidak apa-apa. Nanti beliau akan mengajarkan saya langsung. Bagi saya, ini adalah sebuah anugrah yang belum pernah saya dapatkan dari bapa dunia saya (papa kandung).

Jadi, sampai sekarang saya terus maju dan bertumbuh dalam pembapaan Babe. Dalam pelayanan, saya juga mengalami peningkatan dan terus dipromosikan. Dari melayani sebagai usher dan Konselor, sampai menjadi koordinator Ibadah Sore (Ibadah Spektakuler). Sekarang saya menjabat sebagai gembala ibadah Spektakuler. Selain itu, Liza juga sudah melayani sebagai Pemelihara Komunitas Sel (PKS) disebuah komsel yang dimulainya sejak tahun 2012. Anak-anak saya juga sudah terlibat dalam pelayanan, seperti Theofilus Dendra Yudistira, terlibat sebagai Usher Ibadah Spektakuler dan Yobel Pryanichoel yang terlibat dalam tim peniup Shofar.

Pembapaan membuat saya dapat hidup dalam ketaatan, kesetiaan dan pengabdian. Fungsi pembapaan sendiri adalah mengayomi, melindungi, membina dan menjadi figur atau teladan.